Kemiskinan
adalah potret sosial yang selalu jadi persoalan di kota-kota besar. Jakarta,
kota megapolitan yang selalu sibuk. Kota yang sampai sekarang masih menjadi
Tuhan untuk ladang mencarian nafkah. Gedung mencakar langit, mall super mewah,
hingga mobil sport terbaru ada di sini. Hampir kebanyakan orang ingin
mewujudkan mimpi nya di ibu kota, Meski
tidak sedikit yang harus merasakan kenyataan akan kekejaman nya.
Kesenjangan
pembangunan selalu menjadi alasan klasik munculnya kemiskinan. Kota yang di
anggap sebagai pusat ekonomi dibanjiri pendatang dengan modal kemampuan yang
minim. Hal ini menimbulkan peningkatan populasi dan persaingan akan tempat
tinggal. Urbanisasi minimbulkan pemukiman di
pinggir rel, pinggiran kali dan kolong jembatan, dengan ribuan persoalan yang
sulit diselesaikan.
Mereka yang berpakain lusuh dan wajah yang muram menggambarkan
keputusasaan dan kemiskinan. Sudah dianggap sebagai kaum ilegal tetapi harus
berdiri di tengah ibu kota yang terus-menerus dibombardir dengan citra
kemewahan dan kelebihan, Mudah untuk menutup mata terhadap mereka yang kurang
beruntung.
Saat melihat mereka diriku tersentak oleh kontras antara
kehidupan kami. Aku yang terbilang memiliki rumah layak untuk pergi, makanan
untuk dimakan, dan pakaian untuk dipakai, sementara mereka minim memiliki semua
itu. Satu-satunya yang mereka miliki adalah martabat dan harapan bahwa
seseorang akan menunjukan kebaikan kepada mereka.
Siti masrifah adalah salah satu ibu rumah tangga yang tinggal di
kolong tol. Memiliki dua anak yang berusia masih dini. Cukup tinggi kekhawatiran
Siti terhadap tumbuh kembang anak nya dengan tinggal di tempat yang kumuh serta
udara yang tidak sehat seperti ini. Hanya bisa berharap memiliki istana yang
indah, namun sang suami hanyalah seorang supir truk sampah.
Kelahiran asli Jakarta dengan silsilah keluarga berasal dari
kota Banjar dan Pandeglang memiliki aktifitas sehari-hari membantu adik nya
buka warung. Dengan begitu dapat meringankan sang suami untuk kebutuhan makan
dan minum sehari-hari. “Kita syukuri aja, kalau dibilang kurang memang kurang”
Ujar Siti dengan rasa syukurnya.
Hidup di kolong tol bukanlah keinginnya. Harus membangun
rumah-rumah liar yang tidak layak untuk dihuni. Namun, acuh tak acuh harus di
hadapi oleh Siti, karena menyewa bangunan layak di ibu kota melebihi
penghasilan sang suami. Melengkapi kebutuhan jasmani dan rohani untuk kedua
anaknya pun cukup mengkhawatirkan. Debu, becek, air bersih yang minim dan bau
tidak sedap kerap di hadapi oleh nya. Bangunan liar satu pintu yang terbatas
adalah tempat Siti dan keluarga nya beristirahat.
Siti adalah ibu yang super ketat dalam menjaga kedua anaknya. Ia
tau, hidup di lingkungan serba minim cukup berat bagi kesehatan. Maka dari itu
Siti selalu mengatur aktifitas anaknya dengan membagi waktu bersekolah, setelah
itu bermain sejenak dan tidur siang.
Menjelang terbenam nya matahari bergegas mandi dan mengaji. Walau hidup terasa
runyam, namun rasa syukur dan ikhlas menjalani hidup tetap dilakukan oleh Siti.
Sulitnya mendapatkan air ledeng dalam pemukiman di kolong tol
ini membuat Siti terus menerus membeli air galon untuk kebutuhan makan, minum,
mencuci beras, dan masak air. Kamar mandi umum nya pun hanya konstruksi kecil
yang menggunakan hebel dan pintu kayu. Bahkan untuk menggunakan kamar mandi
umum di sana harus membayar sebesar seribu rupiah per masuk.
Tidak hanya Siti dan keluarga nya saja yang hidup di kolong tol,
masih banyak populasi yang hidup tidak layak di ibu kota. Dengan berharap
mendapatkan bantuan, padahal para petinggi hanya mengacuh dengan warga nya yang
memiliki cuan.
Untuk menggunakan kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) saja tidak mampu. Siti berkata, “Kita sehari-hari aja hidup sudah minim
apalagi buat bayar BPJS setiap bulan.” Jika Siti dan keluarga membutuhkan
pelayanan khusus kesehatan hanya bisa ke puskesmas menunjukan fotocopy KTP dan
KK saja.
Menyangkak hati
jika terus di sebut sebagai penduduk illegal, merasa tidak sepakat dengan hal
itu. Karena jelas mereka memiliki identitas resmi negara, hanya saja memang
tidak memiliki tempat tinggal yang layak. Namun, siapa yang ingin hidup seperti
mereka? Mereka hanya manusia yang terus berdoa mendapat nasib yang adil. Siti
berharap nantinya akan mempunyai tempat tinggal yang layak, resmi, dan yang
bukan di tanah negara.
Pilu rasanya
melihat raut wajah mereka yang masih ceria dengan bagaimana pun keadaan nya. Masih
merasakan kasih sayang dan empati bagi mereka yang berjuang, tetapi juga
merasakan harapan dan tekad. Di dunia yang perpecahan serta konflik tampaknya
sudah manjadi norma. Rasa kasih bisa menjadi kekuatan pemersatu, melampaui ras,
agama, dan status sosial ekonomi. Mengingatkan bahwa kita semua adalah manusia
yang memiliki kapasitas untuk kebaikan dan empati.